Nicki vs Nicko (part II)


Pikiranku mulai kalut, otakku berputar cari alasan agar bisa ikut audisi itu, “duh…jam lama amat sih puternya” gerutuku dalam hati. Hari ini terasa sangat lama sekali, tiga jam bagai tiga tahun, aku menunggu jam istirahat, karan saat istirahat Risa janji mau ngejelasin gimana cara ikutan audisi itu. “ah…mudah-muadahan aku bias ikutn audisi itu, dan bisa ketemu sama Nicki” doaku, tetap dlam hati.
“kamu kok dari tadi kayaknya ngelamun? Ada yang dipikirin?” Tanya bu Rosa dari tempat duduknya, ternyata sedari tadi dia merhatiin aku.
“enggak bu,nggak ada apa-apa”
“oh bagus deh, tuh, kerjaan kamu masih banyak, masih ada lima baju yang harus kamu pasangi hiasan, belum lagi kamu harus benerin bajunya pelanggan kemarinkan? Besok katanya mau diambil lho!”
“iya, nanti sore pasti sudah selesai semua bu, ini tinggal sedikit kok”
“harus! Kalau nggak, nama kita pasti jelek terus pelanggan kita kabur, dari mana aku dapat gaji kamu kalau nggak dari mereka dulu”
“iya bu, saya tahu”
“kalau tahu jangan nglamun aja, kerja! Kerja!”
Aku mengganggukkan kepala tanda bahwa aku sangat faham apa yang dibicarakan olehnya, emang, bu Rosa sedikit cerewet, selalu ngomel kalau kita nggak serius kerjanya atau bercanda terus. Saking cerewetnya temen-temen biasa panggil di nenek sihir, hi hi hi… berlebihan sih, tapi nggak apa-apa buat jocking aja.


Namaku Maia Puspita, lahir 19 tahun yang lalu, diumur segini aku sudah hidup sendiri, orang tuaku meninggal saat pergi keProbolinggo, bus yang mereka tumpangi kecelakaan dijalan dan terbakar, seluruh penumangnya mati, termasuk orang tuaku. Waktu itu aku kelas tiga SMP, hidupku serasa kiamat, cita-citaku ikut terkubur bersama jasad mereka, tubuhku hampa tak berdaya, hampir aku putuskan ikut bersama mereka. Aku bingung, aku hidup bersama siapa?
Setiap hari aku berjalan-jalan di taman Bungkul, taman kota Surabaya yang sering aku datangi bersama ibu dan bapak, kupandangi pohon-pohon, bunga-bunga, kumbang-kumbang dan keluarga kecil yang sedang bercanda. Kukenang kedua orang tuaku disana, kubayangkan saat-saat bersama mereka, tak jarang aku menangis sendiri, sampai orang-orang melihatiku. Tangisanku semakin menjadi saat ada orang yang menanyakan apa yang telah terjadi padaku? Dimana orang tuaku? Kenapa aku disini sendiri?
Tanpa sepengetahuanku, ternyata ada orang yang selalu memperhatikanku, dan simpati dengan apa yang kualami. Meski tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ya, tapi aku tidak tahu nama orang itu, “kenapa adik selalu nangis disini?” Tanya orang itu sambil duduk mendekatiku, aku semakin hanyut dalam sedihku.
“bahaya adik malam-malam disini sendiri, adik nggak pulang?” aku masih tak menjawab, dan semakin nangis.
“lho, tambah nangis, baik, lanjutkan nangisnya, aku tunggu disini” ternyata orang itu nggak pergi-pergi juga, malah aku denger makan makanan yang ia bawa. Aku masih nangis menjadi-jadi.
“dulu, saat aku kehilangan ibuku aku juga menangis disini, ditempat ini” dia mulai bercerita, tapi, sungguh, waktu itu aku nggak ingin mendengar cerita apapun aku hanya ingin tidur dalam pelukan ibuku. “ibuku meninggal saat melahirkan adikku, dia kehilangan banyak darah dan aku tidak bisa berbuat apa-apa, ayahku tidak ada dirumah, apa yang bisa dilakukan oleh anak yang berusia sepuluh tahun saat melihat ibunya sekarat?” dia berhenti sejenak, minum minuman yang ada ditanggan dan melanjutkan kisahnya “aku nggak tahu apa yang terjadi denganmu, tapi aku mengamatimu selama beberapa hari kamu selalu ada disini sendiri dan menangis” dia berhenti lagi.
Oh…rupanya ada yang memperhatikanku, siapa dia? Atau jangan-jangan dia orang jahat? Ah…siapapun dia terserahlah, aku sudah hidup sendiri, biarpun jahat, dia mau jadi temanku. Kuberanikan angkat kepala dan kulihat wajahnya, oh…ternyata masih muda, cowok itu memandangku dan……”lihatlah wajahmu, kalau orang tuamu lihat kamu seperti ini pasti mereka sedih” rupanya dia tahu apa yang aku alami, malam semakin lrut, tak ada niat untuk meninggalkn taman itu, “jika aku pulang aku pasti semakin larut dalam sedihku” pikirku, semalam aku berada ditaman itu, ditemani cowok yang aku tidak tahu asala-usulnya, namanya, tapi aku yakin dia orang baik, dia menceritakan cerita-cerita yang buat aku tersenyum.


Risa nyamperin aku lagi “hai! Ayo sekarang!”sambil narik-narik tanganku
“sebentar, masih ada bu Rosa”
“mau nggak? Soal dia santai saja”
Dan, benar! bu Rosa nggak ngomel saat tahu aku belum menyelesaikan tugasku dan diajak Risa pergi, aku kekamar ganti bersama Risa, kemudian Risa menunjukkan Iklan itu. Kubaca dan kupelajari, aku terkejut “apa? Satu minggu di Hotel Ibis?” aku meyakinkan keRisa, Risa mengangguk dengan tersenyum.
“ tapi, persaratannya sulit, aku harus buat gaun malam dulu, baru siapa yang gaun malamnya bagus itu yang dipanggil” aku pesimis.
“ih……malu-maluin, buat gaun aja dipersulit, setia hari yang kamu pegang itu apa non? Kain pel?”
“bukan gitu, ini kompetisi! Bukan rancangan yang kalau nggak cocok bias dierbaiki!”
“kan ada aku! Nanti aku deh yang ngomentarin rancanganmu”
“iya, ya…” semangatku “tapi, boleh nggak ya sama buRosa”
“nggak boleh!”oh…rupanya Tika tahu, wah gawat ini.
“kenapa nggak boleh? Apa ini tokomu?” sesal Risa
“bukan! Tapi aku akan bilang sama bu Rosa”
“bilang aja, alasan apa bu Rosa nglarang?”
“lihat aja entar, kompetisi gitu aja diikuti, dibohongi baru tahu rasa”
“kamu tuh yang syirik……” Risa dan Tika beradu mulut, ada benarnya Tika, mungkin bu Rosa nggak ngijinin aku ikut, takut nama butiqnya tercemar jika aku gagal. Oh…bagaimana ini?

Ternyata benar, aku dipanggil bu Rosa kekantornya, hatiku nggak karuan, pikiranku melayang, apa yang harus aku lakukan?
Aku berdiri didepan pinti kaca yang bergaris-garis putih, kuketuk tok…tok…tok..dan…”ya masuk…!”
“ada apa ibu manggil saya?” aku berlagak nggak tahu
“kata Tika kamu mau ikut audisi ya?”
“eh…eh…audisi apa ya bu?”
“jangan berlaga nggak tahu deh, audisi seminggu bersama Nicki, iya kan”
Aku hanya berani ngganggukkan kepala
“aku nggak ngijinin, kalau kamu ngotot ikut silahkan, tapi aku tunggu surat pengunduran diri kamu”
“tapi bu, ini kan masih audisi, saya belum tentu ketrima”
“nah itu masalahnya, belum tentu ketrima, kamu akan membawa nama butik saya kalau kamu nggak ketrima berarti karya kamu itu jelek dan itu menunjukkan butik ini juga tidak berkwalitas, paham?”
Tiba-tiba pintu terbuka, oh rupanya pak Ferri anak bu Rosa yang masuk
“ada apa sih ma? Kok teriak-teriak dari luar kedengaran lho!”
“ini, Maia mau ikut audisi”
“lho baguskan berarti dia mau maju”
“bagus dari mana? Kalau ketrima bagus memang, kalau nggak? Nama kita Fer nama kita”
“gini mam, mama nggak seharusnya begitu sama karyawan mama, birkan mereka berkreasi diluar juga, biarkan mereka berkembang, hitung-hitung itu sama saja mma ngedidik mereka tanpa mengeluarkan biaya” pak Feri menjelaskan banyak hal sama, biasanya kalau sudah dibicarakan mengenai biaya dan buRosa merasa tidak rugi biasanya diijinkan, mudah-mudahan ini juga seperti biasanya.
Dan, ternyata benar, pak Feri berhasil bujuk buRosa
“baik, Maia, kamu boleh ikut audisi itu, tapi harus menang, kalau nggak surat pengunduran kamu aku tunggu dimeja” oh…baik sekali, tapi kalimat terakhirnya aku enggak setuju
“tapi…”
“nggak perlu tapi-tapian, kalau setuju silahkan mulai nanti malam kerjakan, dan boleh lembur disini, tapi kalau nggak setuju ya…tinggal lupakan saja si Nicki itu, mudahkan”
“i…i…iya bu”
“ya sudah silahkan lanjutkan pekerjaanmu”

0 komentar