Tips merawat kesehatan kulit


sering teman-teman bilang kalau wajahku tidak sesuai dengan umurku, (ini kata temanku lho!). masih kata mereka, katanya aku kelihatan seperti anak SMA padahal umurku sudah seperempat abad. mereka sering tanya, apa ya rahasianya? ini dia:
Minum banyak air setiap hari
Tidur cukup pada malam hari
Gunakan produk kulit yang sesuai dengan jenis kulitmu, tiap malam hari meliputi: pembersih, penyegar, masker dan pelembab.
Lanjutkan dengan pelindung matahari yang melindungi dan menjaga dari terik matahari
Jauhkan tangan dari wajah, karma tangan bias membawa minyak dan kotoran yang menyebabkan pori-pori kotor dan ternoda.
Bicara tentang noda, cobalah untuk tidak memencat jerawat karena bias menyebabkan iritasi dan bakteri semakin menyebar, bersihkanlah kulit dengan menggunakan produk anti jerawat yang lembut bila perlu.
Hati-hati dengan penyegar anti jerawat yang keras dan berbau tajam, karena bias membuat kulitmu kering dan iritasi, bahkan bias-bisa rusak.

KEGIATAN PENELITIAN SANAD

BAB I
PENDAHULUAN

Tujuan utama setiap penelitian hadist baik dari segi sanad maupun matan adalah untuk mengetahui kualitas hadis yang sedang diteliti, diterima atau tidak, shahih atau dhoif.
A. Sanad
1. Pengertian sanad
Sanad diartikan sebagai jalan yang dapat menghubungkan hadis kepada junjungan kita nabi Muhammad saw . Dalam ilmu hadist sanad ini merupakan neraca untuk menimbang shahih atau dhoifnya hadist, andaikan salah seorang dalam sanad-sanad tersebut ada yang fasik atau yang tertuduh pernah dusta, maka dhaiflah hadist itu, hingga tak dapat dijadikan hujjah untuk menentukan suatu hukum.
Sanad memberi gambaran keaslian suatu riwayat. Sebuah hadist dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan sanadnya ini disebut thabaqah, signifikansi jumlah sanad dan penutur ini akan mempengaruhi derajat hadis tersebut, jadi yang perlu dicermati dalam memahami hadis terkait dengan sanadnya adalah :
a. Keutuhan sanadnya
b. Jumlahnya
c. Perawi akhirnya
Bisa ditarik kesimpulan bahwa sanad merupakan rantai penutur/perowi hadist. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadist tersebut dalam bukunya (kitab al-hadis) hingga ke Rosulullah.

2. Arti Isnad.
Sesudah Nabi Muhammad saw wafat, para sahabat juga menyiarkan apa yang mereka dengar atau yang mereka lihat dari Nabi saw, mereka menyiarkan kepada generasi yang hidup pada masa mereka, yaitu generasi Tabi’in. kemudian generasi ini juga menyiarkan apa yang mereka dengar dari generasi Sahabat, kepada generasi selanjutnya yaitu Atba’ Taabi’in (para pengikut Tabi’in). dan begitulah seterusnya, para Atba’ Tabi’in menyiarkan apa yang mereka dengar dari Tabi’in kepada generasi sesudah mereka, sampai keada generasi belakangan.
Sistem penyamaian berita dengan menyebut nara sumbernya seperti itu disebut isnad, yang secara kebahasaan artinya menyandarkan. Sementara narasumber berita ini disebut rawi (periwayat), karena ia meriwayatkan berita itu dari orang lain kepada orang lain pula. Dari narasumber yang pertama - dalam hal ini adalah Nabi saw sendiri–sampai nara sumber terakhir akan terbentuk silsilah atau jalur periwayatan yang kemudian lazim dikenal dengan sebutan sanad .
Usaha seorang ahli hadist dalam menerangkan suatu hadist yang diikutinya dengan penjelasan kepada siapa hadist itu disandarkan, maka ini disebut meng-isnad-kan hadist. Hadist yang telah disandarkan oleh si-musnid (orang yang meng-isnad-kan) disebut dengan hadist musnad .

B. Matan
Yang disebut dengan matanu al-hadits adalah pembicaraan (kalam) atau materi berita yang diambil sanad yang, baik pembicaraan itu sabda Rosulullah saw, sahabat atau tabi’in (tetap berujung pada Rosulullah). Baik isi pembicaraan itu mengenai perbuatan nabi, maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh nabi saw . Atauapun perkataan sahabat yang menjelaskan perbuatan salah seorang sahabat yang tidak disanggah oleh rosulullah saw, disebut juga matanul hadits.

C. Rowi
Rowi ialah orang yang menyampaikan ataupun menuliskan hadist dalam suatu kitab apa saja yang telah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya), bentuk jama’nya ruwah dan perbuatannya menyampaikan hadist disebut me-rowi-kan hadist .

BAB II
PEMBAHASAN
Sebagaimana telah diketahui bahwa sanad itu ialah perowi-rowi hadist yang dijadikan sandaran oleh pentakhrij hadist dalam mengemukakan suatu matan hadist. Nilai suatu hadist sangat dipengaruhi oleh; hal-hal, sifat-sifat, tingkah laku, biografi, mazdhab-mazdhab yang dianutnya dan cara-cara menerima dan menyampaikan dari para perawi.

A. Rijali al-Hadist.
Meneliti pribadi perowi hadist dalam ilmu hadist disebut dengan Rijali al-Hadist, secara definitif artinya ilmu pengetahuan yang dalam pembahasannya membicarakan hal ikhwal dan sejarah kehidupan para rawi dari golongan sahabat, tabi’in dan tabi’it-tabi’in .
1. Sahabat
Para ulama’ berselisih pendaat tentang siapa yang dapat dikatakan sahabat, sebagian ahli usul menetapkan, bahwa yang dikatakan sahabat ialah: orang yang bertemu dan hidup bersama Rosulullah saw minimal setahun lamanya. Sedang menurut jumhur ulama’ yang dikatakan sahabat ialah orang yang bertemu rosulullah saw dengan pertemuan yang wajar sewaktu Rosulullah masih hidup, dalam keadaan islam lagi iman.
Dengan ketentuan ini, maka orang-orang yang bertemu Rosulullah saw tetapi tidak mempercayainya, orang-orang islam lagi iman, yang hidup segenerasi dengan Roulallah saw, namun belum pernah bertemu dengan Rosulallah dan orang-orang yang bermaksud menemui Rosulullah saw dengan iman, tetapi bertemu dengan Rosulullah saw dalam keadaan wafat, mereka semua tidak disebut sahabat.
Untuk menggolongkan seseorang kepada sahabat, hendaklah menggunakan salah satu dari lima ketentuan tersebut dibawah ini:
a. Ditentukan oleh khabar mutawattir, seperti penetapan khulafa’ur-rayidin dan lain-lainnya.
b. Ditentukan oleh khobar masyhur dan mustfidl yang belum sampai mencaai mutawattir, seperti kesahabatan Dlamam bin Tsa’labah dan ‘Ukasyah.
c. Diberitakan oleh sahabat yang lain seperti kesahabatan Hamamah bin Hamamah Ad-Dausy, yang meninggal diIsfahan. Menurut pemberitaan dari Abu Musa al-‘Asy’ary, bahwa Hamamah pernah mendengar hadist dari nabi. Hal ini menjadi bukti, bahwa ia pernah bertemu dengan nabi Muhammad saw.
d. Keterangan seorang Tabi’iy yang tsiqah, bahwa yang diterangkan itu adalah seorang sahabaty. Ini berarti bahwa pen-tazkiyah-an (menganggap adil) dari seorang yang stiqah, diterima.
e. Pengakuan sendiri yang dianggap adil dizaman Rosulullah saw, pengakuan itu dianggap sah selama tidak lebih dari seratus tahun dari kewafatan Rosulullah saw, berdasarkan isyarat Rosulullah saw:


“Apakah yang kau lihat pada malammu ini? Bahwa disetiap awal seratus tahun tidak seorangun yang tinggal dari golongan orang sekarang ini (sahbat) diatas permukaan bumi ini”. (Riwayat Bukhari-Muslim)
Kalau demikian, kalau ada orang yang mengaku sahabat yang pengakuannya itu sesudah satu abad dari wafat nabi, pengakuannya tersebut tidak dapat diterima.

2. Tabi’iy
Menurut kebanyakan ahli hadist, seperti al-Hakim, Ibnu ash-Sholah, An-Nawawy disebut tabi’iy ialah orang-orang yang menjumpai sahabat dalam keadaan iman dan islam, dan mati dalam keadaan isslam, baik perjumpaannya itu lama maupun sebentar.


3. Muhadlramin
Muhadlramin ialah orang-orang yang mengalami hidup pada zaman jahiliyah dan hidup pada zaman Nabi Muhammad saw dalam keadaan islam, tetapi tidak sempat menemuinya dan mendengarkan hadist dari padanya. Dengan demkian Muhadlramin adalah sebagian dari Tabi’in, bahkan menurut ibnu Hajar, mereka tergolong Tabi’in besar.

4. Mawaly
Al-Malawy adalah para rowi dan ulama’ yang semula asalnya budak, orang-orang yang memerdekakan budak disebut maula dan hak perwaliannya disebut wala’. Hak wala’ ini kadang-kadang diperoleh karena:
a. Memerdekakan budak
b. Janji prasetia
c. Meng-islam-kannya

B. Penerimaan riwayat (Al-Hadist).
1. Sama’min lafdli asyakhi, yakni mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik secara didektekan maupun bukan, dan baik dari hafalannya maupun dari tulisannya. Sedang Azami menjelaskan dalam bukunya bahwa metode ini berbentuk penyampaian lisan, pembacan dari kitab, tanya jawab, dan dikte.
2. Al-qiro’ah ‘ala as-Syaikhi, atau biasa jug disebut dengan ‘aradl. Dikatkan demikian, Karena sipembaca menyuguhkan hadistnya kepada sang guru, baik ia sendiri yang membacanya maupun orang lain yang membacanya edang dia mendengarkannya. Aradl juga diartikan bahwa seorang murid membacakan kitab keada gurunya (qari’) sedang murid yang lain membandingkan hadist yang dibacakan itu dengan kitab mereka, atau mende3ngarnya dengan penuh perhatian, baru menyalinnya dengan kitab tersebut.

3. Ijazah, yakni pemberian ijin dri seseorang keada orang yang lain untuk meriwayatkan hadis dari padanya atau kitab-kitabnya. Dalam terminolgi hadist, ijazah berarti mengijinkan seseorang menyampaikan hadist atau kitab berdasarkanotoritas ulama’ yang memberi ijin tanpa harus membacakan kitab kepadanya. Perlu digaris bawahi bahwa para muhaddistin tidak memperkenankan metode ini, sebab kalau diijinkan tentu tuntutan pergi mencari hadist gugur dengan sendirinya.
4. Munawalah, yakni seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan. Munawalah dibagi menjadi dua tipe :
 Dengan dibarengi ijazah, misalnya setelah sang guru menyerahkan kitab-kitab asli atau salinannya, lalu mengatakan “Riwaytkanlah dari saya ini……”
 Tana dibarengi ijazah, yakni ketika naskah asli atau turunannya diberikan kepada muridnya dengan dikatakan bahwa itu adalah apa yang didengan dari si Fulan, tanpa diikuti dari suatu perintah untuk meriwayatkannya.
5. Mukatabah, yakni seorang guru yang menulis sendiri atau menyuruh orang lain menulis beberapa hadist kepada orang ditempat lain atau yang dihadapannya (korespondensi).
6. Wijadah, yakni memperolah tulisan hadist orang lain yang tidak diriwayatkannya, baik dengan lafadl sama’, qiroah maupun selainnya, dari pemilik hadist atau pemilik tulisan tersebut.
7. Washiyah, yakni pesan seseorang dikla mau mati atau bepergian, dengan sebuah kitab supaya diriwayatkan.jumhur ulama’ menolak metode inibila yang menerima wasiat tidak mempunyai ijazah dari pewasiat.
8. I’lam, berarti mengabari seseorang bahwa ia (pemberi kabar) telah mengijinkan untuk meriwayatkan sebuah kitab tertentu berdasarkan otoritas ulama’ tertentu. Ada penjelasan lain bahwa I’lam merupakan emberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadist yang diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari guru seseorang, dengan tidak mengatakan menyuruh agar simurid meriwayatkannya.

C. Meriwayatkan (menyampaikan) hadist.
1. Lafad-lafad untuk meriwayatkan
Banyak istilah digunakan untuk menyampaikan hadist karena tiap isnad memuat banyak nama (periwayat), istilah-istilah (lafad-lafad) inipun sering berulang. Karena perbedaan istilah dalam menyampaikan hadist mengakibatkan perbedaan nilai ada suatu hadist, lafad-lafad itu adalah:
sami’tu (saya mendengar), digunakan bagi para perowi yang mendengar langsung dari gurunya, lafad ini tinggi martabatnya karena para perawi mendengar sendiri baik berhadaan muka dengan gurunya atau dibelkang tabir.
Haddastanaa (seseorang telah bercerita……)
Akhbaranaa (seseorang telah mengabrakan padaku/kami….)
Anbaanaa (seseorang telah memberitahukan padaku…..)
Qalaa (seseorang telah berkata……)

2. Hadist mu’an’an dan muannan
Jika seorang rawi meriwayatkn suatu hadist dengan lafadh ‘an hadistnya disebut dengan mu’an’an, dan dia disebu mu’an’in. dan jka seorang perawi meriwayatkan lafadh dengan anna (bahwasannya), hadis tersebut disebut mu-an-nan dan dia disebut mu-annin. Metode periwayatan ini merupakan yang terlemah, karena ‘an tdak nyata menunjukkan adanya hubungan langsung diantara periwayat dan data dianggap dhaif hadistnya.



BAB III
KESIMPULAN
Tujuan utama setiap penelitian hadist baik dari segi sanad maupun matan adalah untuk mengetahui kualitas hadis yang sedang diteliti, diterima atau tidak, shahih atau dhoif. Meneliti pribadi perowi hadist dalam ilmu hadist disebut dengan Rijali al-Hadist, secara definitif artinya ilmu pengetahuan yang dalam pembahasannya membicarakan hal ikhwal dan sejarah kehidupan para rawi dari golongan sahabat, tabi’in dan tabi’it-tabi’in
Banyak istilah digunakan untuk menyampaikan hadist karena tiap isnad memuat banyak nama (periwayat), istilah-istilah (lafad-lafad) inipun sering berulang. Karena perbedaan istilah dalam menyampaikan hadist mengakibatkan perbedaan nilai ada suatu hadist, dan ini akan mempengaruhi kualitas hadist. Wallahu’alam bi as-shawaab.


DAFTAR PUSTAKA
Azami, M. M. MA, Ph.D. Memahami Ilmu Hadis, Lentera, Jakarta 2003.
Danaahmad.freehostia.com, hal 1
Rahman, Fathur. Drs Ikhtisar Mustholahul Al-Hadist, PT. Alma’arif , Bandung, 1974.
Yaqub, Ali Mustafa, Kritik Hadis, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000.