mini proposal II

PENGARUH METODE SEMPOA TERHADAP KEMAMPUAN BERHITUNG PADA ANAK
oleh:ifa

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara berkembang dimana masyarakat Indonesia mulai beranjak pada kondisi yang lebih modern. Perubahan dan perkembangan tersebut begitu cepat sebagai akibat perubahan sosial, kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan, pertumbuhan ekonomi dan modernisasi di segala bidang. Salah satu bidang yang mempunyai peran penting bagi perkembangan dan perwujudan diri individu, terutama bagi pembangunan bangsa dan negara adalah pendidikan. Kegiatan pendidikan tidak terlepas dari proses belajar, pengertian belajar itu sendiri merupakan suatu proses yang menimbulkan perubahan-perubahan yang bersifat permanen dalam perilaku sebagai akibat dari pengalaman (Djamarah dan Zain, 2002).

Belajar merupakan proses dasar dari perkembangan hidup manusia, dengan belajar manusia melakukan perubahan-perubahan yang mengarah pada perubahan tingkah laku yang berkembang. Belajar itu bukan sekedar pengalaman, belajar merupakan suatu proses karena itu belajar berlangsung secara aktif dan integrated dengan menggunakan berbagai bentuk perbuatan untuk mencapai suatu tujuan, sehingga melalui pendidikan dimungkinkan berkembangnya manusia yang berkualitas atau berpotensi yang akan berperan dalam pembangunan menjadi masyarakat yang modern (Soemanto, 1998).

Mewujudkan manusia yang berkualitas atau berpotensi harus dilakukan lewat dunia pendidikan secara bertahap dan sedini mungkin. Kegiatan pendidikan harus dirancang sedemikian rupa sehingga menghasilkan generasi yang cerdas dan berkualitas guna mengimbangi kemajuan teknologi dan perubahan yang begitu cepat dalam bidang ilmu pengetahuan. Komponen dasar ilmu pengetahuan dan teknologi tidak terlepas dengan ilmu berhitung atau matematika. Pelajaran matematika merupakan salah satu ilmu dasar (basic science) pendukung ilmu pengetahuan dan teknologi serta merupakan bidang studi strategis yang mengajarkan kemampuan berhitung di dalam pemecahan masalah. Kenyataannya banyak siswa-siswi yang kurang terampil, dalam bidang studi matematika, salah satu penyebabnya karena sebagian besar siswa masih menganggap matematika sebagai mata pelajaran yang sulit bila dibandingkan dengan mata pelajaran yang lain, karena matematika merupakan subyek yang tersusun secara hirarkis, sehingga bila siswa tidak mampu memahami perhitungan dasar akan sulit untuk belajar pada tingkat yang lebih kompleks pada tingkat kelas yang lebih tinggi (Loughin dan Lewis, 1981).

Siswa yang dapat menguasai kemampuan matematika paling tidak harus menguasai tiga kecakapan yaitu : a. Computation skills, adalah suatu kecakapan yang mengacu pada kemampuan siswa menggunakan perhitungan dalam mengerjakan soal-soal; b. Problem solving skills, adalah suatu kecakapan yang mengacu pada kemampuan siswa menggunakan perhitungan untuk memecahkan masalah; c. Application skills adalah suatu kecakapan yang mengacu pada kemampuan siswa menggunakan kecakapan berhitung dan kecakapan menyelesaikan masalah dalam situasi kehidupan nyata (Loughin dan Lewis, 1981).

Tercapainya tiga kecapakan di atas diperlukan suatu metode pembelajaran berhitung yang tepat bagi siswa. Metode pembelajaran berhitung yang saat ini sering digunakan oleh sebagian besar pendidik dan lembaga pendidikan adalah dengan menggunakan metode sempoa. Sempoa ialah teknik menghitung berdasarkan teori matematik dengan menggunakan sempoa sebagai alat bantu. Mental aritmatika diajarkan dengan menggunakan instrumen khusus yang disebut sistem abacus (sempoa), yaitu instrumen penghitung manual yang telah diperbaharui sesuai kaidah-kaidah aritmatika sehingga mudah dicerna dan ditransformasikan ke dalam mental seseorang. Pendidikan Sempoa sangat terkenal di negara lain seperti Jepang, Korea, Taiwan, China, Amerika, Brazil, Malaysia, Singapura bahkan di negara tetangga Malaysia. Adanya kesadaran yang tinggi tentang kepentingan dan manfaat sempoa, banyak orang telah mengikuti jejak orang Jepang, Taiwan dan Korea, pendidikan sempoa telah diajarkan kembali di semua sekolah dasar pemerintah sejak kelas empat. Tujuan dari sistem sempoa ini adalah untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi otak (khususnya otak kanan)

Menurut Roger (dalam Hilary, 2007), otak kanan berfungsi dalam hal persamaan, khayalan, kreativitas, bentuk atau ruang, emosi, musik dan warna. Daya ingat otak kanan bersifat panjang (long term memory). Bila terjadi kerusakan otak kanan misalnya pada penyakit stroke atau tumor otak, maka fungsi otak yang terganggu adalah kemampuan visual dan emosinya. Otak kiri berfungsi dalam hal perbedaan, angka, urutan, tulisan, bahasa, hitungan dan logika. Daya ingat otak kiri bersifat jangka pendek (short term memory). Bila terjadi kerusakan pada otak kiri maka akan terjadi gangguan dalam hal fungsi berbicara dan berbahasa. Otak kanan kiri mempunyai fungsi yang berbeda, tetapi setiap individu mempunyai kecenderungan untuk mengunakan salah satu belahan yang dominan dalam menyelesaikan masalah hidup dan pekerjaan. Setiap belahan otak saling mendominasi dalam aktivitas namun keduanya terlibat dalam hampir semua proses pemikiran

Penelitian telah membuktikan bahwa otak sebelah kanan anak jarang sekali digunakan selama hampir seumur hidupnya, dan hanya digunakan sebanyak 10% saja. Sistem Mental Aritmatika terbukti sangat berguna dalam meng-optimalkan fungsi-fungsi otak (otak kanan khususnya) seorang anak pada masa pertumbuhannya yang meliputi daya analisa, ingatan, ketahanan, logika, visi, kemandirian, ketekunan, penemuan dan penerapan. Manfaat memahami disiplin dasar eksakta ini, seorang anak diharapkan dapat menguasai dan menggunakan secara optimal seluruh potensi dan kreativitas yang ada pada dirinya dalam menyerap ilmu - ilmu lanjutan dan menjadikannya seorang manusia yang tekun dalam menghadapi kehidupannya sehari-hari (Shafiyyatul, 2005).

Metode pembelajaran sempoa di atas bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berhitung anak dalam menghadapi pelajaran matematika, IPA dan pelajaran lainnya. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan eksperimen lebih lanjut mengenai pengaruh metode sempoa terhadap kemampuan berhitung pada anak sekolah dasar khususnya kelas 4.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan yaitu apakah ada pengaruh metode sempoa terhadap kemampuan berhitung pada anak?.

C. Landasan Teori

a. Anak

  1. Pengertian anak

Menurut kodrat anak manusia adalah makhluk sosial seperti juga orang dewasa. Anak membutuhkan orang lain untuk dapat membantu mengembangkan kemampuannya. Seorang anak merupakan individu baru yang terbentuk melalui kondisi ayah dan ibu. Anak terlahir dengan segala kelemahan dan kekurangan yang akan sangat membutuhkan manusia lain. Tanpa orang lain anak tidak mungkin dapat mencapai taraf kemanusiaan yang normal (Kartono, dalam Sunarso, 1985). Menurut Gunarsa (1985), anak merupakan ”animal educandum” yaitu binatang yang harus dididik. Anak menampilkan nilai dan martabatnya sendiri, yaitu memiliki sistem-sistem penilaian kanak-kanak menurut kriteria norma anak itu sendiri. Sistem penilaian anak-anak ini harus diikuti dengan penilaian anak dewasa yang akan mengangkat dirinya dan mampu mencapai martabat manusia itu secara penuh.

Sabur (1991) mengartikan anak sebagai orang yang mempunyai pikiran, perasaan, sikap dan minat yang berbeda dengan orang dewasa dengan segala keterbatasannya. Menurut Haditmo (dalam Martani,1992) anak merupakan kehidupan yang dilihat sebagai suatu fase tersendiri, suatu fase hidup yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya. Selain itu, ditambahkan juga bahwa anak merupakan bagian dari keluarga, dimana keluarga dapat memberikan pendidikan pada anak, memberikan norma-norma pada anak yang memberikan kesempatan pada anak untuk belajar tingkah laku yang baik penting untuk perkembangannya dalam kehidupan bersama.

Agustinus (dalam Suryabrata, 1988) yang dipandang sebagai peletak dasar permulaan psikologi anak, mengatakan bahwa anak tidaklah sama dengan orang dewasa. Anak mempunyai kecenderungan untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban umum yang disebabkan oleh keterbatasan, pengetahuan dan pengertian terhadap kehidupan. Anak-anak lebih mudah belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan yang bersifat memaksa.

Kasiram (1994) mengatakan bahwa anak adalah makhluk yang sedang dalam taraf perkembangan yang mempunyai perasaan, pikiran, kehendak sendiri yang kesemuanya itu merupakan totalitas psikis dan sifat-sifat serta struktur yang berlainan pada tiap-tiap fase perkembangan. Proses perkembangan manusia dapat dijumpai beberapa tahapan atau fase dalam perkembangan dimana antara fase yang satu dengan yang lain selalu berhubungan dan mempengaruhi serta memiliki ciri-ciri yang relatif sama dengan setiap anak.

Schneirla (dalam Gunarsa, 1985) mengatakan bahwa perkembangan anak adalah merupakan hasil darii proses kematangan dan belajar dari pengalaman yang ada semasa hidupnya. Perumusan lain yang juga akan menekankan pada suatu proses kematangan adalah dikemukakan oleh Liebert, dkk (dalam Gunarsa, 1985) bahwa perkembangan adalah proses perubahan dalam pertumbuhan dan kematangan pada suatu waktu dan integrasi dengan lingkungan.

Bijou dan Bear (dalam Gunarsa, 1985) mengartikan perkembangan pada sisi psikologis, yaitu perkembangan progresif yang menunjukkan cara organisme bertingkah laku dan interaksinya dengan lingkungan. Interaksi yang dimaksud disini adalah antara tingkah laku dan lingkungan artinya apakah suatu jawaban tingkah laku akan diperlihatkan atau tidak semuanya ini tergantung pada peransang-peransang yang ada dilingkungannnya.

Pengertian anak yang mencakup masa anak itu exist (ada) hal ini untuk menghindari kerancuan mengenai pengertian anak dalam hubungannnya dengan orang tua dan pengertian anak itu sendiri. Setelah menjadi orang tua maka secara umum yang dimaksud anak adalah manusia yang dikategorikan berusia 1-12 tahun atau berada pada masa kanak-kanak.

Havighurst (dalam Martani, 1992) membagi fase anak tersebut menjadi dua yaitu 1-6 tahun sebagai masa kanak-kanak (infancy dan early childhood) dan usia 6-12 tahun yang merupakan masa sekolah atau periode intelektual. Menurut Hurlock (2000) membagi periodesasi masa anak-anak menjadi 2 yaitu early childhood pada usia 2-6 tahun dan late cildhood pada usia 6-12 tahun sedangkan usia 0-1 tahun masa bayi dimana pada masing-masing periode mempunyai ciri-ciri yang dapat membedakan pengertian anak dengan orang dewasa.

Fase-fase perkembangan anak menurut Havighurst (dalam Kasiran, 1994) yaitu infancy dan childhood atau masa bayi dan anak kecil yaitu berumur 0-6 tahun middle childhood atau masa sekolah yaitu umur 6-12 tahun.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa anak merupakan makhluk yang mempunyai perasaan, pikiran, kehendak tersendiri yang kesemuanya itu merupakan totalitas psikis dan sifat-sifat serta struktur yang berlainan pada tiap-tiap fase-fase perkembangan pada masa kanak-kanak (masa kecil anak). Sedangkan anak pada penelitian ini dibatasi pada middle childhood atau periode intelektual, dimana pada masa ini telah mengalami kematangan untuk menjalani kegiatan-kegiatan di sekolah sepert fisik, intelektual, moral dan sosial.

2. Tugas perkembangan anak

Salah satu tugas dasar yang menentukan apakah seorang anak yang telah mengalami perkembangan dengan baik adalah melalui dengan apa yang disebut dengan tugas-tugas perkembangan (developmental task) (Havighurst dalam Gunarsa, 1986) bahwa perjalanan hidup seseorang yang ditandai dengan adanya tugas-tugas yang dipenuhi. Tugas ini dalam batas tertentu bersifat khas untuk setiap masa hidup seseorang sesuai dengan tuntutan norma masyarakat dan norma budaya.

Tugas-tugas perkembangan ini bersumber pada tiga hal yaitu kematangan fisik, rangsangan atau tuntutan dari masyarakat dan norma pribadi mengenai aspirasinya (Havighurst dalam Gunarsa, 1985). Tugas-tugas perkembangan tersebut sebagai berikut tugas-tugas perkembangan anak usia 0-6 tahun meliputi belajar memfungsikan visual motoriknya secara sederhana, belajar makan padat, belajar bahasa, kontrol badan, mengenali realita sosial atau fisiknya, belajar melibatkan diri secara emosional dengan orang tua, saudara dan lainnya.

Tugas-tugas anak usia 6-12 tahun adalah menggunakan kemampuan fisiknya, belajar sosial, mengembangan kemampuan-kemampuan dasar dalam membaca, menulis, menghitung, memperoleh kehebatan pribadi, bergaul, mengembangkan konsep-konsep yang dipadukan untuk hidup sehari-hari, mempersiapkan diri sebagai jenis kelamin tertentu, mengembangkan sikap terhadap kelompok sosial dan lembaga (Havighurst dalam Haditono, 1992). Pada usia 6-12 tahun ini adalah masa anak sekolah dasar. Masa sekolah ini, perkembangan anak amat pesat dan lingkungan keluarga tidak lagi mampu memberikan fasilitas untuk mengembangkan fungsi-fungsi anak-anak, terutama fungsi intelektual dalam mengejar kemajuan jaman modern, maka anak memerlukan satu lingkungan sosial baru yang lebih luas; berupa sekolahan, untuk mengembangkan semua potensinya dan anak mulai memasuki masyarakat luas. Selanjutnya, lingkungan sekolah akan memberikan pengaruh yang sangat besar pada anak sebagai individu dan sebagai makluk sosual. Di sekolah ini hasil-hasil kebudayaan bangsa dan jamannya akan ditranformasikan ataupun ditranmisikan pada diri anak.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan anak tidak hanya terbatas pada perkembangan fisik saja tetapi juga pada perkembangan mental, sosial dan emosional yang kesemuanya harus dipenuhi sesuai dengan tugas-tugas pada masa setiap perkembangan adalah satu tugas yang timbul pada suatu periode tertentu dalam hidup seseorang dimana keberhasilan dalam menyelesaikan tugas ini menimbulkan perasaan bahagia serta keberhasilan pada tugas berikutnya, sedangkan kegagalan akan menimbulkan ketidakbahagiaan dan kesulitan atau hambatan dalam menyelesaikan tugas berikutnya.

B. Kemampuan Berhitung

1. Pengertian kemampuan berhitung

Menurut Bismo (1999), kemampuan berhitung adalah kemampuan seseorang yang digunakan untuk memformulasikan persoalan matematik sehingga dapat dipecahkan dengan operasi perhitungan atau aritmatika biasa yaitu tambah, kurang, kali, dan bagi. Menurut Riyanto (2001) berhitung secara harfiah berarti cara menghitung dengan menggunakan angka-angka.

Menurut Masykur dan Fathani (2008) kemampuan berhitung adalah penguasaan terhadap ilmu hitung dasar yang merupakan bagian dari matematika yang meliputi penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan berhitung adalah kemampuan anak dalam penguasaan ilmu hitung yang meliputi penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian terhadap bilangan-bilangan tertentu.

2. Kemampuan berhitung pada pelajaran matematika

Gunawan (1997) mengungkapkan pelajaran matematika merupakan mata pelajaran yang melatih siswa kritis, kreatif, berpikir alternatif, berargumentasi, menyatakan buah pikirannya baik dalam lisan maupun tulisan secara sistematis, logis dan lugas. Menurut Sujono (1971) matematika merupakan ilmu atau perkembangan dari hubungan, aturan, struktur atau organisasi skematis yang berhubungan lainnya dengan ruang, waktu, berat, masa, volume, geometri dan angka-angka. James dan James (dalam Sujono 1971) matematika adalah ilmu tentang bentuk susunan, besaran dan konsep-konsep berhubungan lainnya yang jumlahnya banyak dan matematika biasanya dibagi dalam 3 bidang yaitu aljabar, analisis dan geometri.

Pengertian pelajaran matematika mempunyai cakupan dalam lingkup pendidikan sekolah. Pelajaran matematika adalah sebagai salah satu ilmu dasar yang dewasa ini berkembang amat pesat baik materi maupun kegunaannya. Dimensi matematika dapat disimpulkan sebagai berikut : a. Pelajaran matematika meliputi terjadinya proses belajar mengajar yaitu berupa sebuah kegiatan yang utuh terpadu antara siswa sebagai pelajar yang sedang belajar, dengan guru sebagai pengajar yang sedang mengajar, dalam suasana yang bersifat pengajaran; b. Pelajaran matematika sekolah terdiri atas bagian-bagian matematika yang dipilih guna menumbuhkembangkan kemampuan-kemampuan dan membentuk pribadi siswa serta berpadu pada perkembangan IPTEK, dengan ciri-ciri penting yaitu : 1) memiliki obyek-obyek yang abstrak; 2) menggunakan simbol-simbol untuk membantu memanipulasi aturan-aturan yang beroperasi dalam struktur-struktur; 3) memiliki pola pikir deduktif dan konsisten, juga tidak dapat dipisahkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi; c. Pelajaran matematika berkenaan dengan materi yang memerlukan kegiatan berpikir yang berhubungan dengan struktur yang lebih tinggi yang secara tepat terbentuk dari apa yang sudah dipelajari sebelumnya, artinya bahan pelajaran matematika harus bermakna sesuai dengan kemampuan dan struktur kognitif yang dimiliki peserta didik.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan berhitung pada pelajaran matematika adalah suatu ilmu dasar yang dimiliki siswa untuk berfikir kritis, kreatif, mampu menyatakan buah pikirannya baik lisan maupun tulisan secara sistematis, logis dan lugas yang berhubungan dengan ruang, waktu, berat, masa, volume, geometri serta angka-angka yang mencakup tiga bidang yaitu aljabar, analisa dan geometri.

3. Dimensi pelajaran berhitung

Dimensi pelajaran berhitung yang merupakan karakteristik konsep yang terwakili dalam pengertian matematika merupakan keterpaduan dan saling keterikatan dalam dimensi yang dapat diuraikan sebagai berikut : a. Pelajaran berhitung sebagai proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar merupakan suatu kegiatan terjadinya interaksi, yakni hubungan antara guru dan siswa dalam suasana yang bersifat pengajaran, proses belajar mengajar siswa aktif (CBSA) dalam sistem ini proses kegiatan belajar mengajar guru dan anak didik terlibat dalam sebuah interaksi dengan bahan pelajaran sebagai mediumnya, dalam interaksi itu anak didik yang lebih aktif, guru hanya berperan sebagai motivator dan fasilitator (Djamarah dan Zaini, 2002). Guru menyajikan bahan pelajaran tidak dalam bentuk final (utuh dari awal hingga akhir), atau dengan kata lain guru hanya menyajikan sebagian dan selebihnya diserahkan kepada siswa untuk mencari dan menemukannya, selanjutnya guru memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mendapatkan apa-apa yang belum disampaikan oleh guru dengan pendekatan belajar problem solving (pemecahan masalah). Problem solving dalam pelajaran berhitung adalah adanya soal atau tugas yang tidak rutin dan menuntut siswa untuk kreatif berpikir untuk menggunakan data fakta dan informasi yang tersedia maupun belum tersedia; b. Pelajaran berhitung berkenaan dengan obyek abstrak. Pelajaran berhitung berkenaan dengan obyek abstrak dekat dengan sifat yang formalitas, simbolis terminologi yang khas dan perhitungan rumit (Susanto, 1983). Sifat tersebut menjadikan berhitung sebagai pelajaran yang sulit dimengerti tanpa tujuan dan kegunaan, hal semacam ini bagi siswa akan memunculkan rasa bosan, bingung dan menjenuhkan setiap kali mendapat pelajaran berhitung (Sumaji, dkk, 2003); c. Pelajaran berhitung memerlukan kemampuan kognitif yang sesuai. Kognitif merupakan salah satu bagian dari psikologis manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan, informasi, pemecahan masalah, kesenjangan dan keyakinan (Nawang, 1995). Belajar berhitung khususnya pada pelajaran matematika haruslah dengan pemahaman, dimana pengetahuan direpresentasikan secara internal dalam pikiran manusia, dari representasi ini memiliki struktur yang pada akhirnya membentuk suatu jaringan, bila jaringan itu semakin baik dan lengkap maka semakin kuat pula pemahaman, sehingga tahapan-tahapan perkembangan kognitif yang dipunyai siswa sangat diperlukan dalam situasi belajar dan menghadapi obyek abstrak (berpikir logis dan deduktif) (Sugiyono, 2001); d. Pelajaran berhitung menggunakan metode instruksional. Metode instruksional adalah cara pelajaran dalam rangkaian yang utuh melalui pentahapan instruksional sebagai berikut : 1) Tahap pra-instruksional adalah langkah persiapan yang ditempuh pada saat memasuki kelas. Siswa dituntut untuk mempersiapkan diri dengan memiliki gambaran pokok bahasan yang akan diikuti penyelesaian tugas dan perlengkapan alat bantu berhitung; 2) Tahap instruksional adalah tahap inti dalam proses pengajaran dimana disajikan pokok bahasan dan umpan balik berupa tugas-tugas, dalam tahap ini diperlukan keterlibatan siswa untuk pemusatan perhatian dan kondisi fisiologis yang optimum; 3) Tahap evaluasi adalah tahap kegiatan penilaian terhadap tingkat keberhasilan siswa mencapai tujuan yang ditetapkan dalam sebuah program atau seorang siswa sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan (Susanto, 1981).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dimensi pelajaran berhitung yang merupakan karakteristik konsep yang terwakili dalam pengertian matematika merupakan keterpaduan dan saling keterikatan dalam dimensi sebagai berikut : a. Pelajaran berhitung sebagai proses belajar mengajar; b. Pelajaran berhitung berkenaan dengan obyek abstrak; c. Pelajaran berhitung memerlukan kemampuan kognitif yang sesuai.; d. Pelajaran berhitung menggunakan metode instruksional.

4. Minat siswa terhadap pelajaran berhitung

Minat siswa adalah dorongan yang tumbuh pada diri siswa yang berupa rasa senang dan tertarik dengan kegiatan proses belajar. Kegiatan atau tingkah laku tersebut selalu mengarah pada suatu tujuan yang didasari oleh suatu kebutuhan untuk segera mendapatkan hasil belajar yang sesuai dengan minatnya, seperti yang dikemukakan oleh Sholahudin (1990), bahwa yang memiliki minat terhadap sesuatu akan dapat memperoleh manfaat lebih banyak, lebih cepat dan menyenangkan baginya dari pada yang kurang atau sama sekali yang tidak mempunyai minat.

Menurut Utami (1999), ciri-ciri siswa yang mempunyai minat tinggi terhadap obyek tertentu adalah : senang, bersemangat dan berusaha untuk mencoba. Seperti halnya dengan siswa yang mempunyai minat terhadap pelajaran berhitung, yaitu : a. Senang terhadap pelajaran berhitung. Anak yang mempunyai minat terhadap pelajaran berhitung akan merasa senang terhadap pelajaran tersebut sebelum pelajaran dimulai. Siswa biasanya tidak merasa terbebani dan santai terhadap pelajaran berhitung, sehingga proses belajar siswa menjadi maksimal dan siswa mudah menyerap pelajaran yang diberikan guru; b. Bersemangat dalam belajar pelajaran berhitung. Siswa yang mempunyai minat tinggi terhadap pelajaran berhitung akan lebih mudah menerima pelajaran berhitung, hal ini disebabkan oleh dorongan dan keyakinan dalam dirinya bahwa pelajaran berhitung tidak sulit dan menyenangkan. Siswa yang mempunyai semangat terhadap pelajaran berhitung akan memperoleh hasil belajar yang lebih baik dan merasa bahwa pelajaran berhitung sangat mengasikkan; c. Berusaha untuk mencoba soal-soal yang diberikan sesuai dengan tingkat pendidikannya. Minat yang tinggi terhadap pelajaran berhitung akan mendorong siswa melakukan percobaan terhadap soal-soal sejenis yang diberikan guru. Siswa tidak merasa takut atau malas untuk menyelesaikan soal dan tidak takut atau malu bertanya apabila mengalami kesulitan terhadap soal tersebut. Keinginan untuk mencoba soal lain yang sejenis tentunya akan membuat siswa menjadi kreatif dan berfikiR kritis dan lebih siap menghadapi soal-soal yang bervariasi yang diberikan guru.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan minat siswa terhadap pelajaran berhitung adalah keinginan siswa untuk belajar pelajaran berhitung dengan harapan akan menguasai pelajaran tersebut. Minat siswa terhadap pelajaran berhitung dapat diketahui dari ciri-ciri sebagai berikut : senang terhadap pelajaran berhitung, bersemangat dalam belajar pelajaran berhitung dan berusaha untuk mencoba soal-soal yang diberikan sesuai dengan tingkat pendidikannya.

C. Metode Sempoa

Sempoa adalah pelajaran yang melibatkan penghitung yakni dengan belajar menambah (+) mengurangi (-) mengalikan (x) dan membagi (:). Manfaat belajar sempoa diantaranya : 1. Meningkatkan kemampuan berhitung lebih cepat diatas rata-rata anak; 2. Kemampuan mencongak lebih cepat dan tepat; 3. Menyeimbangkan penggunaan otak kiri dan kanan serta mengoptimalkannya untuk mencapai tingkat berfikir yang analisis dan logika berfikir yang benar; 4. Terlatihnya daya fikir dan konsentrasi, membantu anak untuk menguasi mata pelajaran yang lainnya; 5. Menumbuhkembangkan imajinasi sehingga kreatifitas anak berkembang; 6. Membiasakan diri dengan angka-angka, membuat anak tidak lagi alergi pada pelajaran eksakta (Yudhim, 2007).


1. Sejarah sempoa

Alat bantu dalam pendidikan mental aritmatik adalah sebuah alat yang disebut sempoa (bahasa bakunya : Swipoa) atau Abakus. Alat hitung ini pertama kali ditemukan dalam sejarah Babilonia kuno dalam bentuk sebilah papan yang diatasnya ditaburi pasir sehingga orang bisa menulis atau menghitung. Itu sebabnya alat tersebut dinamai Abakus yang berasal dari bahasa Yunani Abacos, yang artinya menghapus debu (Yudhim 2007).

Bangsa Cina mengembangkan abakus ini menjadi dua bagian, yaitu pada jeruji atas dimasukkan 2 manik-manik dan 5 manik-manik pada jeruji bawah. Model atau bentuk inilah yang membuat abakus atau sempoa menjadi amat populer. Pada abad ke 16, abakus dibawa masuk ke Jepang oleh para pedagang dan bhiksu-bhiksu Buddha dari Cina. Bangsa Jepang akhirnya mempunyai ide untuk mengurangi jumlah manik-maniknya menjadi satu pada jeruji atas dan empat pada jeruji bawah. Metode ini sangat praktis sehingga membuat anak-anak Jepang sangat menyukai aritmatika.

Fenomena ini tidak luput dari perhatian negara-negara tetangganya, setelah perang Korea yang menyengsarakan pada dekade 50 an, bangsa Korea (Korea Selatan) secara intensif mendidik genarasi mudanya dengan aritmatika model Jepang sehingga pada dekade 60 an Korea sudah bisa menyejajarkan diri dengan negara-negara maju lainnya. Negara Taiwan yang sudah terbiasa dengan sempoa model Cina, tidak ketinggalan merubah sistem belajarnya dengan metode Jepang, sekarang Taiwan juga menikmati kemakmuran berkat industrinya yang berbasis hi-tech (Yudhim 2007).

2. Tujuan metode belajar sempoa

Menurut Yudhim (2007), tujuan dari sistem instrumen ini adalah untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi otak (otak kanan khususnya) dalam diri seorang anak pada saat pertumbuhannya, yang meliputi : daya analisa, ingatan, ketahanan, logika, visi, kemandirian, ketekunan, penemuan dan penerapan.

Menurut Shafiyyatul (2005), pemahaman disiplin dasar estetika sempoa, seorang anak diharapkan dapat menguasai dan menggunakan secara optimal seluruh potensi dan kreativitas yang ada pada dirinya dalam menyerap ilmu-ilmu lanjutan dan menjadikannya seorang manusia yang tekun dalam menghadapi kehidupannya sehari-hari.

Lebih lanjut Shafiyyatul (2005) menjelaskan bahwa program pendidikan sempoa ini dirancang khusus untuk anak-anak dari usia 4-12 tahun, karena pada saat usia inilah sistem pengajaran metode eksakta dasar sangat ideal sekali, selain itu tujuan dari belajar sempoa adalah : 1) Mengoptimalkan secara penuh pengembangan kekuatan dan potensi otak (otak kanan khususnya) secara kreatifitas anak-anak pada masa pertumbuhannya; 2) Berbagai metode latihan dalam pendidikan MAS (Mental Arithmatical Sempoa) yang melatih kemampuan aritmatika dengan bantuan indera pendengaran, penglihatan dan sentuhan jemari tangan, akan membantu dalam melahirkan seorang anak yang lebih mulia dari segi pribadi, kesabaran, konsentrasi, ketelitian dan disipilin; 3) Peningkatan daya otak seperti pengertian, imajinasi, ingatan, logika, analisa dan reaksi yang tinggi, menjadikan siswa dapat mengikuti dan mempelajari pelajaran matematika yang dipelajari di sekolah dengan lebih baik, dan lebih mudah dalam mencernanya; 4) Dengan berfungsinya secara penuh daya kerja otak seorang anak pada masa pertumbuhan, maka diharapkan anak tersebut kelak akan menjadi seorang anak yang kreatif dan pintar serta mampu dalam menyongsong masa depannya sebagai calon penerus generasi bangsa Indonesia

Menurut Riyanto (2001), Mental Aritmatika Sempoa (MAS) merupakan salah satu disiplin ilmu pengetahuan eksakta yang telah terbukti dan sangat berguna sebagai dasar pengembangan kerangka dan cara berpikir seorang anak. Mental Aritmatika dapat digunakan untuk mengoptimalkan fungsi otak seorang anak, sehingga dapat menghitung cepat, hanya dengan pemikiran otak saja (3 X lebih cepat dari kalkulator).

3. Cara kerja Sempoa

Mental aritmatika diajarkan dengan menggunakan instrumen khusus yang disebut sistem Abacus (Sempoa) yaitu instrumen penghitung manual yang telah diperbarui sesuai dengan kaidah kaidah Aritmatik sehingga mudah dicerna dan ditransformasikan ke dalam mental seseorang. Metode berhitung sama halnya dengan belajar matematika dasar, yakni dengan belajar menambah (+) mengurangi (-) mengalikan (x) dan membagi (:) memakai alat sempoa (Yudhim, 2007).

Menurut Shafiyyatul (2005), pada tahap awal, anak-anak diajarkan menguasai sempoa sampai mahir lalu ketrampilan tangan itu dipindahkan ke dalam alam imajinasinya sampai akhirnya anak-anak tidak memerlukan sempoa lagi. Program Pendidikan Mental Aritmatika Sempoa hanya melibatkan hitungan Penambahan, (+), Pengurangan (-) Perkalian (x) dan Pembagian (:). Cara ini dapat mengembangkan mental atau jiwa anak-anak melalui Mental Aritmatika. Anak-anak yang telah mengikuti metode sempoa, pada awalnya menggunakan alat bantu Sempoa setelah melewati masa yang khusus nantinya akan dapat menghitung bilangan atau angka tanpa alat bantu apapun, contohnya, anak dapat menjawab 10 baris pertanyaan perkalian untuk 3 angka dalam waktu kurang dari 30 detik.

D. Pengaruh Metode Sempoa Terhadap Kemampuan Berhitung

Pada Anak

Sempoa adalah sebuah alat bantu dalam pendidikan mental aritmatika. Alat hitung ini pertama kali ditemukan dalam sejarah Babilonia kuno dalam bentuk sebilah papan yang diatasnya ditaburi pasir sehingga orang bisa menulis atau menghitung. Metode ini sangat praktis dan membuat anak-anak Jepang sangat menyukai aritmatika, sehingga membuat Jepang begitu cepat bangkit dari puing-puing kekalahannya pada Perang Dunia II.

Metode berhitung pada sempoa sama halnya dengan belajar matematika dasar, yakni dengan belajar menambah (+) mengurangi (-) mengalikan (x) dan membagi (:). Pada tahap awal, anak-anak diajarkan menguasai sempoa sampai mahir lalu ketrampilan tangan itu dipindahkan ke dalam alam imajinasinya sampai akhirnya anak-anak tidak memerlukan sempoa lagi. Usia ideal belajar anak dimulai pada saat si anak memasuki usia sekolah di TK-A, TK-B, Sekolah Dasar (SD) dan paling tinggi Sekolah Menengah Pertama (SMP). Hal ini bertitik tolak pada teori bahwa perkembangan daya pikir anak yang dimulai pada usia 0 sampai 15 tahun memiliki tingkat pertumbuhan yang pesat.

Melalui belajar mental aritmatika seorang anak akan memperoleh banyak manfaat diantaranya : 1. Meningkatkan kemampuan berhitung lebih cepat diatas rata-rata anak; 2. Kemampuan mencongak lebih cepat dan tepat; 3. Menyeimbangkan penggunaan otak kiri dan kanan serta mengoptimalkannya untuk mencapai tingkat berfikir yang analisis dan logika berfikir yang benar; 4. Terlatihnya daya fikir dan konsentrasi, membantu anak untuk menguasi mata pelajaran yang lainnya; 5. Menumbuhkembangkan imajinasi sehingga kreatifitas anak berkembang; 6. Membiasakan diri dengan angka-angka, membuat anak tidak lagi alergi pada pelajaran eksakta.

Menurut Clara (2006) metode sempoa merupakan suatu program untuk mengoptimalkan fungsi otak sebelah kanan seorang anak, sehingga dapat menghitung cepat, tidak ragu-ragu dan juga menguatkan daya ingat seorang anak. Awalnya anak akan menggunakan alat ini sebagai bantuan, kemudian apabila anak tersebut sudah mulai dapat menguasai akan menjadikan sempoa tadi hanya bayangan dan anak tidak menggunakannya lagi. Metode ini cocok untuk anak berusia 4-12 tahun, karena pada usia inilah pola dasar berpikir seorang anak terbentuk. Sistem pelajaran ini tidak membebani anak karena pelajarannya dengan metode bermain. Diharapkan dengan metode ini, kemampuan anak dalam berhitung akan kuat, karena dengan demikian akan memacu daya ingat seorang anak.

Manfaat yang lain yang dapat dirasakan adalah anak setelah mengikuti metode sempoa adalah dapat mengatasi permasalahan yang muncul dalam pelajaran berhitung seperti matematika dan anak dapat tiga kecakapan yaitu : a. Computation skills, adalah suatu kecakapan yang mengacu pada kemampuan siswa menggunakan perhitungan dalam mengerjakan soal-soal; b. Problem solving skills, adalah suatu kecakapan yang mengacu pada kemampuan siswa menggunakan perhitungan untuk memecahkan masalah; c. Application skills adalah suatu kecakapan yang mengacu pada kemampuan siswa menggunakan kecakapan berhitung dan kecakapan menyelesaikan masalah dalam situasi kehidupan nyata (Loughin dan Lewis, 1981).

C. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah mengetahui ada tidaknya pengaruh metode sempoa terhadap kemampuan berhitung pada anak.

D. Manfaat Penetitian

1. Manfaat Teoritis

Untuk memberi sumbangan informasi mengenai kemampuan berhitung pada anak khususnya kelas IV sekolah dasar dan memberi tambahan informasi bagi peneliti lain mengenai penggunaan metode sempoa.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi para orang tua, guru atau pendidik lain apabila mengetahui anak didiknya mengalami permasalahan dalam menghadapi pelajaran berhitung, maka anak dapat diberikan metode sempoa untuk memperoleh hasil yang baik.